Jumat, 20 Januari 2012
Hak Reproduksi Wanita
Pemikiran mengenai hak-hak reproduksi wanita merupakan perkembangan dari konsep hak asasi manusia. Konsep hak asasi manusia itu sendiri dibagi dalam dua ide dasar, pertama bahwa setiap manusia lahir dengan hak-hak individu yang terus melekat dengannya. Dan kedua, bahwa hak-hak tiap manusia hanya dapat dijamin dengan ditekankannya kewajiban masyarakat dan negara untuk memastikan kebebasan dan kesempatan dari anggota-anggotannya untuk memperoleh dan melaksanakan kebebasan asasinya tersebut.
Selain bergulir dari hak asasi manusia, konsep hak reproduksi juga berkembang sebagai bentuk reaksi terhadap berbagai pandangan yang membahas hubungan laju pertumbuhan penduduk dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam banyak cukup kasus, kebijakan dalam hal pengendalian pertumbuhan penduduk berhubungan dengan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak reproduksi wanita. Sehingga dalam pembuatan kebijakan program harus disesuaikan dengan perspektif hak reproduksi wanita.
Sebelum berlanjut kepada kebijakan, mari kita lihat apa itu kesehatan reproduksi. Berdasarkan Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1994, kesehatan reproduksi diartikan sebagai keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh, dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya. Oleh karena itu kesehatan reproduksi berarti orang dapat menikmati kehidupan seksual yang memuaskan dan aman. Dan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi serta kebebasan untuk menentukan apakah mereka mau, kapan dan berapa anak yang diinginkan.
Seperti telah diungkapkan di atas, bahwa kondisi reproduksi sehat dapat tercapai bila masyarakat dan negara dapat memberikan perhatian dan penghormatan terhadap pemenuhan kebutuhan dan hak-hak reproduksi.
Hak reproduksi yang dimaksud adalah :
Hak bagi setiap pasangan dan individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab menentukan jumlah anak, selang waktu dan kapan melahirkan
Hak untuk mendapatkan informasi dan sarana untuk mewujudkannya
Hak untuk memperoleh standar kesehatan seksual dan reproduksi tertinggi.
Hak untuk mengambil keputusan tentang reproduksi tanpa diskriminasi,tanpa tekanan dan kekerasan.
Saat ini Isu kedudukan dan posisi sosial dalam masyarakat masih menomorsatukan kepentingan dan persfektif pria. Keharusan untuk menggunakan kontasepsi masih ditangan wanita, pengasuhan anak yang menjadi tanggung jawab pihak wanita, Adanya marjinalisasi kepentingan wanita, dan tidak kekerasan terhadap wanita. Pada faktanya kejadian tersebut terefleksikan dengan masih sangat tingginya Angka Kematian Ibu, serta masih tingginya angka morbiditas seperti kondisi anemia pada wanita.
Beberapa hal yang membuktikan tidak dihormatinya integritas tubuh dan hak-hak wanita untuk mengelola, mengatur dan mengendalikan aspek reproduksi sendiri diantaranya
pendekatan kuantitatif menyebabkan direkrutnya sebanyak mungkin wanita sebagai pengguna kontrasepsi, menjadi suatu pendekatan yang secara sengaja tidak diarahkan pada pemberdayaan dan pengembangan kesadaran masyarakat
tidak adanya upaya untuk menyediakan pilihan kontrasepsi yang memadai, yang menyebabkan wanita mau tidak mau menggunakan kontrasepsi yang mungkin tidak sesuai dengan kondisinya dengan berbagai efek samping yang merugikan wanita
tidak adanya upaya untuk memperhatikan dan menyediakan kualitas pelayanan yang baik, mulai dari tidak diberikannya informasi yang lengkap dan akurat tentang metode kontrasepsi sampai pada tidak adanya pelayanan bagi pengguna untuk menangani masalah yang timbul.
Seharusnya Pelayanan Kesehatan Reproduksi harus memenuhi standar minimal sebagai berikut (Hardon dkk, 1997):
penyediaan pilihan kontrasepsi untuk pria dan wanita
penyediaan metode-metode yang dikendalikan oleh pemakai seperti pil dan metode rintangan (barriers) seperti kondom
penyediaan metode yang temporer dan permanen
penyediaan metode hormonal dan non hormonal
penyediaan pilihan kontrasepsi aman untuk wanita yang sedang menyusui
penyediaan metode-metode yang digunakan setelah hubungan seks seperti kontrasepsi darurat, pengaturan menstruasi dan aborsi.
Bila kita perhatikan, standar minimal tersebut menjelaskan beberapa prinsip, yakni :
bahwa pria dan wanita sama-sama bertanggung jawab atas pengendalian fertilitas dan masalah kesehatan reproduksi pada umumnya
bahwa individu, pria dan wanita, harus mengambil keputusan dan tanggung jawab sendiri atas kesehatan reproduksinya, tidak diatur atau dikendalikan oleh pihak-pihak lain
bahwa individu, pria dan wanita berhak atas alternatif-alternatif pilihan metode yang cocok dan dirasakan terbaik baginya.
Untuk itulah perlu kebijakan kependudukan yang sungguh-sungguh bertujuan untuk tercapainya kondisi reproduksi sehat bagi pria dan wanita sebagai subjek. bukan kebijakan yang mengejar target kuantitatif untuk pengendalian laju pertumbuhan penduduk. Upaya memberikan perhatian kepada masalah hak asasi manusia termasuk pula didalamnya hak reproduksi wanita, sangat perlu mensosialisasikan pandangan social entitlement yaitu bahwa negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memastikan dihapuskannya diskriminasi terhadap wanita
Dalam rangka menyusun kebijakan kependudukan yang pro terhadap hak reproduksi wanita, perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut :
wanita harus menjadi subjek bukan objek dari kebijakan pembangunan terutama kebijakan pembangunan kependudukan. Wanita dapat membuat keputusan yang bertanggung jawab untuk dirinya sendiri, keluarganya dan masyarakat
kebijakan kependudukan harus didasarkan pada prinsip penghormatan pada intergritas seksual dan ketubuhan anak wanita dan wanita. Wanita memiliki hak untuk menentukan kapan, seperti apa, mengapa, dengan siapa, dan bagaimana mengungkapkan seksualitasnya.
Semua wanita, tanpa memandang umur, status kawin dan kondisi sosial lain memiliki hak atas informasi dan pelayanan yang diperlukan untuk menjalankan hak-hak dan tanggung jawab reproduksinya
pria juga memiliki tanggung jawab personal dan sosial atas tingkah laku seksual dan fertilitasnya, dan atas dampak tingkah laku mereka pada kesehatan serta kesejahteraan pasangan dan anak-anak.
hubungan seksual dan hubungan sosial antara wanita dan pria harus dilaksanakan melalui prinsip kesetaraan, keadilan, tanpa paksaan, saling hormat, dan tanggung jawab
hak-hak dasar seksual dan reproduksi wanita tidak dapat dianggap kurang penting (berlawanan dengan kehendak wanita tersebut) bila dibandingkan dengan kepentingan pasangan, anggota-anggota keluarga, kelompok-kelompok etnis, lembaga-lembaga agama, petugas kesehatan, peneliti, pengambil keputusan, negara maupun pihak-pihak lain
Atas dasar itulah maka sudah saatnya kita meningkatkan partisipasi pria dalam KB dan Kesehatan Reproduksi, supaya wanita tidak menjadi objek lagi dalam urusan KB dan Kesehatan Reproduksi. Disamping itu supaya wanita memiliki kesetaraaan dan keadilan serta berbagi tanggung jawab dengan pasangannya dalam urusan KB dan Kesehatan Reproduksi, yang pada akhirnya Hak Reproduksi Wanita terlindungi.
(Farida Ekasari. Sumber : Menghapus Diskriminasi : Memberikan Perhatian Pada Kesehatan dan Hak Reproduksi Perempuan, Kristi Poerwandari, M. Hum).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar